Alfiyah Nur Azizah
Alumni Al-Furqon MBS Cibiuk Garut
Waktu menunjukkan pukul empat sore, sudah saat nya ruangan praktik ku tutup. Ku ganti tulisan buka itu menjadi tulisan tutup. Namun, aku masih menunggu untuk menemui pasien lamaku. Pasien yang kutemui enam tahun lalu.
“Halo, siapa namamu?” tanyaku
“Namaku Tesa,” jawab anak SMA itu
“Wah, nama yang bagus. Apa makna yang terkandung dalam namamu, tesa?” “Ayah bilang, aku akan menjadi seseorang yang membawa beribu cahaya yang mulia pada setiap orang.”
Perkenalan singkat itu bener-bener singkat. Namun berbeda dengan pasien-pasienku yang mempunyai jadwal rutin untuk menemuiku, Tesa tidak mempunyai jadwal yang rutin. Tesa akan datang sesuai perasaan hatinya. Datang kalau perlu, tak datang kalau baik-baik saja. Suatu hari, tesa datang mengunjungi ruangan ku.
“Dokter! Aku baru saja selesai mandi dan langsung pergi menemuimu.”
“Wah ternyata wangi perawan ini berasal darimu Tesa? Bagaimana dengan harimu, Tesa?” “Aku kesal sekali! Seharusnya aku mandi terlebih dahulu daripada temanku. Katanya dia hanya ingin mandi, memangnya aku ingin mandi kembang tujuh rupa apa?! Aku juga kan ingin mandi.” “Ah…ada orang yang menerobos antrian mu ya tesa?”
“Iya! Itu membuatku sangat kesal, dokter! Aku mau keluar dari pesantren ini! Aku tidak mau pesantren! Untuk apa aku pesantren! Untuk apa aku mengantri hanya untuk mandi. Buang-buang waktu saja.”
“Begini Tesa, apa cita-citamu?”
“Menjadi Seperti dokter.”
“Nah ayo lakukan, kejar cita-citamu. Masa hanya karena seseorang yang tidak mengantri dapat membuatmu seperti ini? Tidak apa-apa, itu bukan rezekimu. Itu rezeki temanmu untuk dapat mandi terlebih dahulu daripada kau, Tesa.”
“Rezeki dari mananya, aku tetap tidak bisa ikhlas.”
“Rezeki bukan hanya soal materi, kalau kamu tidak mau rezekimu diambil maka pertahankanlah. Namun, kalau memang kenyataannya itu bukan rezekimu, maka berikanlah. Allah sudah tahu apa yang terbaik untuk hambanya.”
Tesa menghela napas nya secara perlahan dan berkata,
“Iya juga ya, ya sudah aku maafkan dia. Lihat saja ya dokter, tiba-tiba aku akan menjadi dokter sepertimu. Hahaha. Aku pergi dulu dokter, terima kasih.”
Itu adalah salah satu dari kisah hidup Tesa di pesantren yang ia ceritakan padaku. Hidup di pesantren memang sudah takdirnya untuk mengantri. Dari bangun tidur, sampai tidur lagi pasti
akan mengantri. Aku pernah merasakan apa yang tesa rasakan. Dulu ketika usia ku seusianya, aku juga pesantren. Disekolah yang sama dengan Tesa. Memang kesal mendengarkan namun apa boleh buat, masa karena si tidak tahu aturan itu membuat hariku menjadi buruk. Tidak pantas kan? Setelah pertemuan terakhir itu, Tesa belum menemuiku selama tiga bulan. Kukira hidupnya sudah baik-baik saja. Ternyata masalah memang tidak akan ada habisnya selama manusia masih hidup, maka jadikanlah masalah itu teman. Bulan keempat, Tesa datang dengan raut wajah yang sangat lesu. Kutanya pun dijawab dengan jawaban yang sangat-sangat tidak bersemangat.
“Hey, apa yang terjadi Tesa? Si tidak tahu aturan itu mengganggumu lagi?’ “Bukan, bukan karenanya. Aku turuti saranmu waktu itu. Kali ini, aku sendiri. Aku Sendiri tidak tahu apa yang terjadi padaku. Yang aku pikirkan kali ini adalah bagaimana jika mereka tidak mau berteman lagi denganku? aku akan menjadi seseorang yang begitu malang. Setelah aku belajar sabar untuk jauh dari orang tua, sekarang aku harus mengakui fakta kalau aku tidak punya teman? Oh ayolah, Dokter aku tidak mau pesantren!”
“Oh…malangnya nasibmu sudah jauh dari orang tua, dijauhkan pula oleh temanmu! Tapi apa kamu ingat Tesa? Kamu pesantren untuk mencari ilmu, untuk masa depan mu. Bukan untuk mencari teman. Mendapat teman adalah bonus karena kamu sudah pandai menerima ilmu itu. Ingat tujuan awalmu tesa. Kamu datang untuk belajar.”
“Tapi aku tetap tidak ingin sendiri dokter….”
“Apa yang membuat teman-temanmu menjauh darimu? Cari letak kesalahan dari dirimu. Apa kesalahan yang sudah kamu lakukan sehingga teman-temanmu menjauh? Atau ini hanya perasaanmu saja? Apapun itu, tetap perbaiki dirimu menjadi diri yang lebih baik. Tak perlu kamu gantungkan hidupmu dengan teman-temanmu. Buktikan kalau kamu bisa hidup tanpa mereka. Pikirkan dirimu sendiri. Cintai dirimu sendiri dan berikanlah perhatian yang baik pada dirimu. Bertahanlah Tesa, kamu bisa. Dokter akan menunggumu hingga kamu bisa menjadi seseorang sepertiku. Bahkan jauh lebih hebat dari diriku. Kamu paham Tesa?”
“Akan kucoba untuk bisa memahami perkataanmu dokter, aku akan mencoba untuk bertahan demi diriku sendiri. Bukan untuk orang lain.”
“Bagus Tesa, pergilah, kejar ilmu itu. Jangan sampai ilmu itu pergi menghilang.”
Menurutku, pertemuan ini cukup berbeda dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Tesa yang biasanya mudah kesal. Kali ini, ia datang kepadaku dengan raut wajah yang sedih. Aku pernah membaca sebuah kutipan kalau sepi adalah teman sejati. Loneliness is my best friend. Bahkan dalam buku pun ada yang judulnya seperti itu. Aku pernah membenarkan kutipan tersebut. Karena buktinya, aku sudah kesepian di dalam rahim itu dan pada akhirnya aku juga kesepian didalam tanah lembab itu.
Satu minggu menjelang hari ulang tahun tesa. Dokter yang baik bukan? Aku dapat mengingat dengan mudah. Karena hari ulang tahun Tesa, sama dengan hari ulang tahunku. Sudah tiga hari setelah pertemuan itu, Tesa kembali datang menemuiku.
“Sebentar lagi hari ulang tahunku. Dokter mau memberiku kado apa?”
“Aku akan memberikan rasa tangguh yang berlimpah. Dan tugasmu, adalah menggunakan rasa tangguh itu dengan bijak.”
“Hahaha kamu benar dokter, aku harus menjadi seorang gadis yang tangguh. Ahh aku tak siap untuk menghadapi dunia yang kian hari kian keras. Dokter tahu? Sebentar lagi aku akan pergi meninggalkan pesantrenku. Aku bisa bertahan hingga aku lulus. Lihatlah gadis kecil dihadapanmu yang dulu mengadu karena perkara mandi, sekarang sudah hampir menjadi gadis yang tangguh!”
“Iya, hebat sekali kamu Tesa. Dokter bangga padamu.”
“Oh tentu saja. Tapi kau tahu dokter, alasan yang sebenarnya kenapa aku pergi untuk menemuimu pagi ini? Tentu saja aku datang untuk berbagi kisah hatiku untukmu.” “Iya iya dokter tahu. Ayo rapatkan dirimu padaku. Apa yang ingin kamu bagikan padamu tesa?” “Aku sedang dipaksa. Dokter tahu? Aku dipaksa seperti zaman penjajahan dulu. Indonesia saja sudah merdeka, masa diriku belum merdeka? Aku dipaksa untuk bisa mengerjakan ujian yang belum aku pelajari dokter! bayangkan! Ditambah waktu yang dipersempit untuk menghafal materi-materi ujian tersebut. Kalau saja aku tidak diberi waktu yang mengejar, aku yakin aku mampu. Tapi mereka meminta waktu itu untuk mengejarku dokter!”
“Kamu dipaksa tesa? Kamu dikejar waktu?”
“Iya dokter, aku dipaksa untuk memenuhi keinginan mereka mereka. Aku tidak suka.” “Tesa…siapa yang suka kalau dirinya dipaksa? Tapi kalau kamu pikirkan kembali, kamu dipaksa untuk siapa? Untuk dirimu sendiri. Kamu dipaksa untuk dirimu, sehingga kamu bisa berkembang dan bertumbuh dengan baik untuk masa depanmu.”
“Oke, aku akan membenarkan ucapanmu, dokter tapi aku dikejar waktu. Aku tidak mampu mempelajari hal itu dengan waktu yang singkat. Otakku tidak secepat kereta super cepat itu.” “Iya. kamu benar Tesa. Otak manusia berbeda-beda. Kerjakanlah sesuai kemampuan mu. Ku pikir mereka akan mengerti tentang kondisi muridnya dengan otak yang tidak terlalu cepat untuk berfikir. Kerjakan sebisa mu tesa. Paksakanlah hal itu maka kamu akan terbiasa. Dokter ikhlas kalau kamu harus memaksa hal ini. Dokter yakin, kau bisa tesa. Kau harus menjadi anak yang banyak bisanya, seperti ular. Kau tahu tesa? Ular kobra juga banyak bisanya. Masa tesa kalah sama ular?”
“Aduh dokter, bagaimana sih. Bagaimana bisa aku menjadi seseorang yang diinginkan semua orang. Aku tidak diba menghilangkan sifat asliku hanya untuk seseorang.” “Maka kamu harus bisa mengendalikan sifat burukmu, Tesa. belajar dari apa yang sudah kamu pelajari selama empat tahun kamu belajar dari tempat yang mulia ini. Aku tahu kau menjadi seseorang yang lebih banyak bersyukur karena tempat itu. Aku tahu kau menjadi seseorang yang bisa lebih banyak bersyukur karena tempat ini. Aku juga tahu kalau kau menjadi seseorang yang dapat lebih menghargai perbuatan dan pendapat orang lain dengan bijak. Aku tahu kau baik aku tahu kalau kau menjadi orang yang lebih baik ketika kau mulai belajar di tempat itu. Di ulang tahunmu yang terakhir kalinya selama di pesantren, jadilah orang yang bisa menyebarkan cahaya kemuliaan seperti yang ayahmu harapkan.”
“Kau benar dokter, aku bisa merasakan perubahan baik dalam diriku. Aku akan mencoba untuk membiasakan diri untuk ujian ini.”
“Gadis pintar! Terbiasalah dengan sesuatu hal yang sulit, maka kamu akan menganggap hal tersebut dengan mudah.”
“Iya dokter, iya. Aku akan berusaha sebisaku!”
“Lihat diriku baik-baik, Tesa. Kau akan menjadi orang sepertiku dan akan menjadi orang yang lebih tangguh lagi.”
Setelah itu, Tesa pulang dengan perasaan yang cukup lega. Mengingat beberapa cerita ternyata cukup menyenangkan. Pasien lamaku sudah datang sejak aku mengganti tulisan buka menjadi tulisan tutup. Kutatap diriku didepan cermin ruangan praktek ku yang berada di ruang bimbingan konseling pondok pesantren Al-Furqon Muhammadiyah Boarding School. Kupeluk diriku sambil menatap wajahku dari seberang cermin dengan penuh rasa bangga. Enam tahun yang lalu. Terima kasih sudah bertahan untuk diriku dimasa kini. Kutatap kembali cermin dihadapanku dan berkata “terima kasih, Tesa. kau hebat!”