Di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota, tiga bersaudara tumbuh dengan dinamika yang tak pernah tenang. Kakak tertua, Riana, selalu merasa harus bertanggung jawab atas adik-adiknya. Riska, adik perempuan kedua, merasa Riana terlalu mengatur. Sementara itu, Rio, si bungsu laki-laki, sering menjadi penonton setia pertengkaran kakak-kakaknya.
“Aku cuma bilang, jangan taruh buku-buku sembarangan, Riska!” seru Riana suatu pagi.
“Dan aku cuma bilang, berhenti sok jadi bos di rumah ini, Kak!” balas Riska, tak mau kalah.
Rio menghela napas panjang. “Kalian berdua capek nggak sih, tiap hari kayak gini?” katanya. Tapi, seperti biasa, ia hanya dianggap angin lalu.
Suatu sore, mereka menerima kabar buruk: ayah mereka yang dirawat di rumah sakit karena penyakit jantung telah berpulang. Dunia mereka seolah runtuh.
Ibu mereka, Bu Maya, mencoba tetap kuat meski terlihat jelas ia rapuh. “Kita harus saling menguatkan,” katanya, memandang anak-anaknya dengan mata berkaca-kaca. Tapi, bagi Riana dan Riska, akur tampaknya lebih sulit daripada menghadapi kehilangan.
Beberapa hari setelah pemakaman, seorang pengacara keluarga datang untuk membacakan wasiat ayah mereka. Semua duduk di ruang tamu dalam suasana tegang.
“Anak-anakku yang kusayangi: Riana, Riska, dan Rio. Jika kalian membaca ini, artinya aku sudah tiada. Aku tahu, kalian sering bertengkar, terutama kalian, Riana dan Riska. Tapi aku ingin kalian tahu, keluarga adalah harta paling berharga. Wasiatku hanya satu: kalian harus menjaga rumah ini bersama. Jika kalian tidak bisa hidup akur dalam satu atap, jual rumah ini dan sumbangkan seluruh hasilnya kepada orang yang membutuhkan.”
Bu Maya menunduk, menahan tangis. “Ayah kalian benar. Rumah ini harus jadi tempat kalian belajar rukun, bukan tempat bertengkar,” katanya lirih.
Setelah pembacaan wasiat, suasana rumah menjadi sunyi. Bu Maya mengurung diri di kamar, sementara Riana, Riska, dan Rio duduk di ruang tamu.
“Kalau kita nggak akur, rumah ini harus dijual,” gumam Rio.
“Itu nggak akan terjadi,” ujar Riana tegas. “Aku nggak mau rumah ini hilang.”
“Tapi susah, Kak,” Riska mendengus. “Kita nggak pernah bisa sepakat.”
Rio, yang biasanya diam, kali ini bicara lebih serius. “Kalian sadar nggak, Ibu butuh kita? Kita udah kehilangan Ayah. Kalau rumah ini sampai dijual, Ibu pasti makin hancur.”
Hari-hari berikutnya, suasana rumah perlahan berubah. Bu Maya mulai sakit-sakitan karena tekanan emosional. Melihat kondisi ibu mereka, Riana dan Riska mulai merenung.
Suatu pagi, saat Riana melihat Riska menyapu halaman, ia berkata, “Terima kasih sudah nyapu, Ris. Halamannya jadi kelihatan lebih rapi.”
Riska tertegun. Biasanya, komentar Riana adalah kritik, bukan apresiasi. Ia tersenyum kecil. “Sama-sama, Kak.”
Di dapur, Rio membantu Bu Maya memasak. “Bu, Kakak sama Riska udah mulai akur,” katanya.
Bu Maya tersenyum lemah. “Alhamdulillah. Itu harapan terbesar Ayah kalian.”
Seiring waktu, Riana dan Riska mulai bekerja sama. Mereka bergiliran menjaga ibu, berbagi tugas rumah, dan mendengarkan satu sama lain. Pertengkaran memang masih sesekali terjadi, tapi mereka belajar menyelesaikannya dengan lebih dewasa.
Malam itu, mereka bertiga duduk bersama Bu Maya di ruang keluarga. Film favorit ayah mereka diputar di televisi. Saat adegan lucu muncul, tawa mereka memenuhi ruangan.
“Kalian tahu, Ayah pasti bangga kalau lihat kita sekarang,” kata Bu Maya pelan, matanya berbinar.
Riska menggenggam tangan Riana. “Aku tahu kita sering nggak akur, Kak. Tapi aku janji, aku akan coba lebih baik.”
Riana tersenyum dan mengangguk. “Aku juga, Ris. Kita harus jaga rumah ini, buat Ayah dan Ibu.”
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, rumah itu kembali terasa hangat—tempat keluarga yang saling mencintai meski tidak sempurna. Karena keluarga adalah harta yang tak ternilai, dan kebersamaan adalah warisan terbesar Ayah mereka.