Oleh Ibnu Hazmin, S.Pd.I
Pengajar Al-Furqon MBS Cibiuk
Latar Belakang didirikannya
Terdapat beberapa faktor pendorong didirikannya Pondok Pesantren Al-Furqon, yakni:
- Bermula dari rindunya masyarakat kampung akan kehadiran figur ulama yang benar-benar mumpun dibidang Agama, untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sifatnya kontinu.
- Kondisi riil di daerah, terjadi krisis ulama Muhammadiyah yang mampu membaca Kitab kuning sebagai prasyarat untuk mengkaji hukum-hukum syari’at Islam, padahal dinamika hukum Kontemporer setiap saat muncul seiring dengan perubahan jaman semakin cepat dan tak terkontrol.
- Sebagai perwujudan dari firman Allah SWT dalam al-Qur’an Surat at-Taubah ayat 123, yang menegaskan perlu adanya suatu kelompok yang bertafaqquh fiddin agar nantinya berfungsi sebagai “Munzir” ditengah-tengah masyarakat.
Tujuan Didirikan
- Tujuan Umum
Untuk memenuhi kebutuhan persyerikatan Muhammadiyah pada khususnya sebagai gerakan Islam, gerakan dakwah dan gerakan tajdid dalam komunitas kaum muslimin.
- Tujuan Khusus:
Untuk mencetak kader ulama yang mampu dan sanggup:
- Memahami dan menyelidiki al-Qur’an dan Sunnah menurut kaidah-kaidahnya.
- Mengambil dan menentukan hukum Islam yang tepat dan benar
- Memilih dan menetapkan Hukum yang paling rajih diantara hukum-hukum yang telah ada dan berkembang
- Menjaga, memelihara dan mengarahkan persyerikatan Muhammadiyah agar tetap berfungsi sebagai gerakan” Amar Ma’ruf Nahyi Munkar”.
Adapun Sejarah berdirinya Al-Furqon terjadi dalam beberapa tahap, yakni, Masa awal berdiri, Alokasi dari Kp. Nagrak menuju Kp. Pulo Baru, hingga berdirinya Al-Furqon Muhammadiyah Boarding School (MBS).
Masa Awal Berdiri
Peran paham Muhammadiyah dalam pembentukan pondok pesantren Al-Furqon di awal-awal berdirinya pondok pesantren ini pada dasarnya begitu signifikan, walaupun tidak secara langsung, namun buah pikirannya mempengaruhi beberapa tokoh ternama dan masyarakat di lingkungan pesantren (wawancara dengan Yanto asy-Syatibie tangal 23 Juni 2018)
Saat itu beberapa Kiayi seperti KH. M. Komaruddin, KH. Aceng Kosasih dan lain-lain mulai mempelajari semua isi tentang paham keagamaan Muhammadiyah. Kitab-kitab hadist, fikih dan tafsir dibuka, dipelajari dan bahkan didiskusikan bersama tutur Yanto asy-Syatibie.
Pondok pesantren Al-Furqon pada didirikan pertama kali tahun 1964, yakni berbarengan dengan disahkannya ranting muhamadiyyah cibiuk oleh Kolonel Bakrie, tokoh Muhammadiyah Jawabarat ketika itu. Sedangkan sama seperti pesantren pada umumnya, yaitu adanya seorang kiai di suatu tempat, kemudian datang santri yang ingin belajar baca al-Qur’an dan ilmu agama kepadanya. Kegiatan itu berlangsung di Kp. Nagrak, Desa Cibiuk Kidul, Kec. Cibiuk, Kab. Garut denagn teknis pengajaran masih bersifat manual, artinya setelah selesai belajar mengaji santri pulang ke rumahnya masing-masing. Istilah yang dipakai untuk model seperti itu biasa disebut sebagai “santri kalong” atau “ngalong”, dengan pengertian tidur (istirahat) dan makan di rumah masing-masing sebab belum ada fasilitas asrama di area tempat pengajian tersebut. Namun dikarenakan semakin hari semakin banyak santri yang datang, maka timbulah inisaitif untuk mendirikan sebuah pondok atau asrama (23 Juni 2018).
Setelah sekialama berfikir dan berkat dukungan moril da materil dari masyarakat akhirnya pada tahun 1971 didirikan dengan asrama kecil. Beberapa nama yang berhasil terekam dan tercatat sebagai santri angkatan pertama, di antaranya: H. Ayub, Soemantri, Engkos Kosasih, Iyang Suryana, Hj. Isop Shofia, Muhammad Idris, Iim Hardiman, Iyok Abdul Fatah, Ade Sudjana, Ii Syafei dan lain-lain
Pada tahun 1982 Al-Furqon berdiri menjadi sebuah yayasan resmi yang diakui pemerintah dengan nama Yayasan Pondok Pendidikan Islam Al-Furqon (YPPI al-Furqon). Legalitas formal yang berbadan hukum dengan akta notaries Muhlis Munir. SH memang perlu dilakukan agar lebih memudahkan pengembangan pesantren. Akan tetapi tidak berlangsung lama yayasan itu dibubarkan. Sebagai gantinya Al-Furqon diwakafkan kepada Pimpinan Cabang Muhammadiyah Cibiuk sebagai roda amal usaha persyarikatan, yang kebetulan pada waktu itu KH. Aceng Kosasih menjabat sebagai ketua Muhammadiyah cabang (Engkos Kosasih (ketua (PCM) Pimpinan Cabang Muhammadiyah Cibiuk) tanggal 20 Juni 2018).
Ide utama berdirinya pondok pesantren ini memang datang dari buah pikir KH. Aceng Kosasih. Akan tetapi, pada saat suami dari Hj. Anung ini akan meletakan batu pertama untuk membangun cikal-bakal berdirinya Pondok Pesantren Al-Furqon, bukan tanpa pretensi dan perlawanan dari masyarakat sekitar yang masih melakukan praktek ritual nenek moyang yang dianggapnya sebagai bentuk peribadatan. Dengan gigih serta bijaksana, sedikit demi sedikit KH. Aceng Kosasih melakukan ‘Muhammadiyahisasi’ sehingga mampu memukul mundur segala bentuk klenik dan khurafat yang selalu dipraktekan masyarakat setempat (Kosasis, 2018)
Karenanya, pendirian Pesantren Al-Furqon atas usaha KH. Aceng Kosasih untuk menumbuhkan potensi-potensi anak-anak di lingkungan sekitar agar senantiasa menjalani kehidupan sesuai dengan nilai-nilai yang sudah digariskan oleh agama dan budaya setempat. Usaha-usaha tersebut dapat dimaknai sebagai upaya sistematis dan pragmatis dalam membantu santri agar menjalani hidup di dunia ini dengan tidak melenceng dari syariat Islam. Namun, syariat Islam yang dipahami oleh KH. Aceng Kosasih tidak hanya bersifat legal formal, tetapi juga syariat yang basah dengan spirit moral dan etika. Oleh karena itulah KH. Aceng Kosasih sebagai pengasuh sekaligus pendiri Al-Furqon berpendapat bahwa Pendidikan Agama Islam adalah suatu usaha untuk membina dan mengasuh para santri agar senantiasa dapat memahami ajaran Islam secara menyeluruh dan menjadikan Islam sebagai pandangan hidup (Asy-Syatibie, 2018).
Yanto asy-Syatibie juga menuturkan bahwa KH. Aceng Kosasih merupakan sosok penting dalam pendirian pondok pesantren Al-Furqon ini. Tidak hanya karena keunggulannya dalam bidang ilmu tetapi kepribadiannya yang dapat dipercaya dan patut diteladani. Pengorbanannya yang totalitas demi berdiri dan berlangsungnya sebuah pesantren tidak perlu diragukan lagi: tenaga, pikiran, waktu, tempat kediaman dan dana materil semuanya dikorbankan demi kemajuan pesantren. Tidak mengherankan apabila para santri dan masyarakat menaruh kepercayaan dan menjadikannya sebagai ‘rujukan’ dari berbagai—bahkan hampir segala masalah.
Beliau merupakan alumni dari berbagai pesantren yang ada di Jawabarat. Dari pesantren ke pesantren ia mengembara mencari ilmu. Hal tersebut Mengapa Al-Furqon mengajarkan berbagai ilmu keagaaman kepada santri-santrinya. Karenanya Al-Furqon merupakan pesantren yang cukup kumplit mengajarkan berbagai ilmu keagaaman dari mulai belajar membaca kitab kuning, belajar memahami prinsip-prinsip pokok aqidah Islam, sampai pada belajar melakukan praktik ibadah yang lurus dan benar.
Ide-ide yang keluar dari KH. Aceng Kosasih tentang pentingnya melakukan pembaharuan pendidikan di kecamatan Cibiuk dengan mendirikan sebuah pondok pesantren takan mungkin dapat terwujud bila tidak ada sosok sang mertua: H. Sarbini, seorang dermawan yang menghabiskan seluruh hidupnya untuk perkembangan pendidikan keagamaan di tanah asalnya. Jika KH. Aceng Kosasih seorang konseptor, maka H. Sarbini adalah seorang eksekutor. Ada sumbu mutualisme yang terjalin karena jasa H. Sarbinilah yang memprakarsai berdirinya pondok pesantren Al-Furqon dengan cara merantau dari satu kota ke kota lain mencari dana tambahan untuk bekal pembangunan.
Hal tersebut terbukti di masa awal berdirinya al-Furqon. Suami dari Hj. Aisyah (dikenal dengan nama Hj. Cicih) ini tidak hanya berkeliling mencari dana pembangunan tetapi juga berkelana mencari guru dan santri untuk mengembangkan pondok pesantren Al-Furqon di awal-awal waktu. Alhasil berkat kerja kerasnya, H. Sarbini mampu mendatangkan guru dari Sumedang serta santri-santri yang tidak hanya dari tempat sekitar pesantren tetapi juga dari berbagai daerah di Indonesia.
Setelah pembangunan dan jumlah santri dirasa cukup, keringat H. Sarbini kemudian didukung penuh oleh tokoh-tokoh masyarakat seperti H. Muhammad Didi, H. Khalil, KH. Shalihuddin Nur, KH. M. Komaruddin, KH. Uu Ubaidillah, KH. Engkos Kosasih, H. Shaleh, H. Ii Syafei, Mas Odong, H. Cecep Jaelani, Kiayi Nasihin, Muhammad Iyet, Muhammad Dayat dan lain-lain (Asy-Syatibie, 2018).
Oleh sebab Al-Furqon didirikan oleh dua orang agen pembaharu dan didukung pula oleh tokoh-tokoh setempat, serta setiap tahun mengalami perkembangan yang cukup pesat, pesantren yang berada di bawah naungan Muhammadiyah ini mengalami beberapa kali perubahan dan inovasi yang brilian seperti lokasi pusat belajar, format pengajaran, sistem pendidikan, kurikulum dan sebagainya.
Alokasi dari Kp. Nagrak Menuju Kp. Pulo Baru
Pondok Pesantren Al-Furqon memiliki keunggulan dalam mengajarkan santrinya belajar tata dasar bahasa Arab seperti Jurmiyah, Imriti dan, al-Fiyah Ibn Malik. Selain belajar ilmu alat, para santri juga belajar tentang aqidah dan ibadah. Dibarengi dengan pendidikan aqidah, pondok pesantren Al-Furqon juga senantiasa mengajarkan praktik beribadah yang lurus dan benar.
Alhasil dari waktu ke waktu pondok pesantren Al-Furqon semakin berkembang maju. Santri-santri berdatangan dari berbagai daerah, semakin semarak mengkaji kitab kuning. Kelebihan pondok pesantren Al-Furqon dalam mengolah santri agar piawai membaca kitab kuning memang menjadi magnet utama mengapa mereka berduyun-duyun masuk ke pesantren itu. Terlebih suasana pedesaan yang tenang dan lenggam semakin menambah kekhusuan mereka menimbun ilmu di pondok pesantren al-Furqon. Di samping itu, masyarakat sekitar yang ramah akan kehadiran santri membuat para wali santri dapat tetap tenang menitipkan anak-anaknya belajar di bawah pimpinan KH. Aceng Kosasih (Ays-Syatibie, 2018)
Akan tetapi perkembangan santri yang semakin membludak, serta bergumulnya dengan masyarakat sekitar, menambah kekhawatiran KH. Aceng Kosasih akan tidak kondusifnya proses belajar mengajar. Selain itu, area pesantren yang semakin terkepung oleh teritori perumahan penduduk memungkinkan pembangunan area pondok akan semakin tersendat. Belum lagi tidak adanya sentuhan manajerial yang memadai, sehingga pondok pesantren dan kegiatan santri-santrinya cenderung berjalan dalam ritme yang monoton tanpa inovasi.
Hal demikian kemudian melahirkan sebuah ide pemugaran untuk mengalokasikan pondok pesantren Al-Furqon ke tempat lain yang lebih strategis, agar para santri dapat terus fokus belajar serta tidak mudah terprovokasi oleh pergaulan masyarakat luar. Selain itu pula, persaingan antar santri dapat lebih kompetitif baik dalam meraih prestasi belajar maupun dalam kekhusu’an beribadah kepada Allah.
Yanto asy-Syatibie mengungkapkan, sebelumnya di tahun 1992 masjid al-Muhajirin yang menjadi cikal bakal perpindahan Al-Furqon telah berdiri lebih dulu. Dana pembangunannya datang dari aliran para aghniya, sementara bidang tanahnya berasal dari wakaf masyarakat. Lokasinya berada di tengah kungkungan sawah dan rawa liar serta jauh dari aktivitas perkampungan. Meskipun letaknya berada dalam wilayah Kp. Bojongranggon, akan tetapi keberadaannya yang jauh dari pemukiman penduduk, membuat tempat ini belum memiliki sebuah nama resmi dari masyarakat. Baru di tahun 1994 setelah pondok pesantren Al-Furqon resmi berpindah dari Kp. Nagrak, lokasi tersebut dinamai Kp. Pulo Baru.
Sementara ‘bangunan’ yang ditinggalkan pondok pesantren Al-Furqon sebagian dijual untuk dijadikan modal pembangunan di lokasi baru, sebagian lagi tetap menjadi sebuah pesantren namun berganti nama menjadi Pondok Pesantren Miftahul Ulum. Karena KH. Aceng Kosasih ikut pindah bersama Al-Furqon di lokasi yang baru, kepemimpinan Miftahul Ulum dilanjutkan oleh muridnya, yaitu Uyun Wahyuna. Setelah beberapa tahun kemudian dilanjutkan oleh Dana Sasmita. Sampai sekarang Pondok Pesantren Miftahul Ulum masih terus aktif melakukan kegiatan belajar mengajar yang dipimpin langsung oleh KH. Maman Suryaman.
Alokasi pondok pesantren Al-Furqon ke tempat baru memang menjadi keputusan yang tepat. Jauhnya area pesantren dengan aktivitas penduduk semakin leluasa melakukan pembinaan dan pengajaran ilmu agama kepada para santri. Proses hijrahnya Al-Furqon merupakan titik awal kemajuan sebab pesantren dapat melakukan inovasi-inovasi dan pembaharuan format pengajaran tanpa harus mengusik aktivitas penduduk setempat. Para santripun dapat berkembang bebas di lingkungan pondok tanpa harus berbaur dengan pergaulan luar yang cenderung membawa pesan-pesan negatif.
Setelah perpindahan dalam menyangkut corak materi pengetahuan atau ilmu-ilmu keagamaan yang diberikan di pesantren al-Furqon, secara garis besar masih tetap mempertahankan corak pemikiran dan ilmu-ilmu klasik. Sebab setiap pesantren pada dasarnya mempunyai filosofi dan konsep pendidikannya masing-masing, yang akhirnya melahirkan keberagaman yang harus diterima sebagai suatu keniscayaan. Ada sementera pesantren yang masih tetap bertahan pada pola tradisionalnya dan ada pula yang telah berupaya untuk menyesuaikan dengan tuntutan zaman.
Namun sayangnya, beberapa pesantren yang ada pada saat ini masih kaku (rigid) mempertahankan pola salafiyah yang dianggapnya “sophisticated” dalam menghadapi persoalan eksternal. Padahal, sebagai suatu institusi pendidikan, keagamaan, dan sosial, pesantren dituntut melakukan inovasi dan internalisasi transformatif tanpa harus mengorbankan karakter nilai dasar aslinya.
Akan tetapi, kuatnya paham Muhammadiyah yang sering menonjolkan pembaharuan-pembaharuan dalam dunia pendidikan di pondok pesantren al-Furqon, KH. Aceng Kosasih paham betul bahwa dunia secara dinamis telah menunjukkan perkembangan dan perubahan secara cepat, yang tentu saja baik secara langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh terhadap dunia pesantren.
Oleh karenanya perpindahan Al-Furqon dari Kp. Nagrak menuju Kp. Pulo Baru dijadikan momentum perubahan paragdimatik menuju pesantren tradisional yang modern. Dalam artian, tradisi membaca kitab kuning masih terus akan tetap berjalan hingga saat ini lantaran KH. Aceng Kosasih berkeinginan untuk mencanangkan sebuah pesantren yang memiliki karakter modern tanpa harus alergi dengan ciri pesantren tradisional. Meskipun di lain waku yang gayanya terlihat sangat anti kemapanan, KH. Aceng Kosasi tidak segan-segan kadang kala mengkritik tradisi keilmuan modernistik.
Namun sebelum misi tercapai menjadikan pondok pesantren Al-Furqon sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang modern, pada tahun 1999 H. Sarbini sebagai sosok pembaharu meninggal dunia di usia 75 tahun. Kemudian lima periode berselang di tahun 2004 KH. Aceng Kosasih menyusul dalam usia 74 tahun (Asy-Syatibie, 2018).
Kepergian dua tokoh penting dalam sejarah pembangunan pondok pesantren Al-Furqon tidak menjadikan pondok pesantren ini ikut terkubur. pondok pesantren Al-Furqon tidak ingin seperti kebanyakan pondok pesantren yang kukuh masih terpola dengan kepemimpinan yang sentralistik dan hierarkis yang berpusat pada satu orang Kiayi dan menjadi figur tunggal pesantren. Para pelanjut Al-Furqon paham betul bahwa pola semacam itu akan berdampak pada implikasi sistem manajemen yang otoritarianistik.
Oleh karenanya, setelah kepergian KH. Aceng Kosasih, lewat musyawarah persyarikatan Muhammadiyah Cabang Cibiuk memutuskan estafet kepemimpinan pondok pesantren Al-Furqon kemudian dilanjutkan oleh menantunya, yaitu Muhammad Yunus pada tahun 2004. Berbagai inovasi dilanjutkan karena pengembangan pesantren tidak terlepas dari adanya kendala yang harus dihadapinya. Apalagi belakangan ini, dunia secara dinamis telah menunjukkan perkembangan dan perubahan secara cepat, dialektika antar ideologi dari berbagai aliran pemikiran juga terjadi begitu hebat, yang pada akhirnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh terhadap dunia pesantren, khususnya pada pola bimbingan santri.
Berdirinya Pondok Pesantren Al-Furqon Muhammadiyah Boarding School
Di dalam Oxford Dictionary dijelaskan bahwa Boarding School is school where some or all pupil live during the term (adalah lembaga pendidikan yang mana sebagian atau seluruh siswanya belajar dan tinggal bersama selama kegiatan pemebelajaran) ( A.S. Horby, 1995 : 324). Pada tahun 2000 pondok pesantren Al-Furqon pernah mencanangkan sebuah pesantren dengan format Boarding School. Alasan utama mengapa pondok pesantren Al-Furqon menginginkan sistem Boarding School lantaran program ini memiliki karakter pendidikan yang paripurna, lingkungan yang kondusif, guru dan ustadz yang berkualitas, santri yang lebih heterogen, jaminan keamanan dan disiplin yang tinggi.
Melihat kesuksesan program Boarding School yang sudah ditorehkan oleh Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut, pondok pesantren Al-Furqon juga berkeinginan untuk memasukan pelajaran-pelajaran umum dalam madrasah-madrasah yang dikembangkan atau membuka tipe-tipe sekolah umum di dalam lingkungan pondok pesantren(Asy-Syatibie,2018).
Yanto asy-Syatibie mengatakan, dengan menggunakan program Boarding School, para santri dapat melakukan interaksi dengan sesama santri lebih intens, bahkan dapat berinteraksi dengan para ustadz atau guru setiap saat. Contoh yang baik dapat mereka saksikan langsung di lingkungan mereka tanpa tertunda. Dengan demikian, pendidikan kognisi, afektif, dan psikomotor santri dapat terlatih lebih baik dan optimal.
Pada tahun 2007 saat pondok pesantren Al-Furqon dipimpin oleh putra bungsu KH. Aceng Kosasih, Yanto asy-Syatibie melakukan berbagai pembaharuan besar-besaran, salah satunya mendirikan sekolah SMP Muhammadiyah Plus Cibiuk dengan kepala sekolah pertama Uleh Abdullah Rizal. Memanfaatkan struktur tanah persawahan yang tidak jauh dengan lokasi asrama santri, tanah itu dibeli untuk perluasan areal pesantren. Sementara biaya untuk membangun gedung sekolah berasal dari para donatur (Asy-Syatibie, 2018).
SMP Muhammadiyah Plus Cibiuk secara umum didesain sebagaimana pendidikan formal lainnya yang menggunakan kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), namun memiliki nilai “plus”, yaitu pelajaran agama. Bobot pelajaran umum seperti Fisika, Geografi, Kimia, Ekonomi dan lain-lain diimbangi oleh pelajaran agama seperti Qur’an-Hadits, Aqidah Akhlak, Fiqh dan lain-lain. Siswa diajarkan untuk tidak bersikap dikotomis dalam memandang ilmu pengetahuan umum maupun agama.
Santri tidak hanya mempelajari gejala alam secara visual, tetapi menggalinya lebih dalam dengan kacamata al-Qur`an. Dengan pembelajaran yang mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum diharapkan akan membentuk kepribadian yang utuh setiap siswa/santrinya menjadikan mereka insan yang bertaqwa kepada Allah, cerdas dalam berfikir di bidang IMTAQ dan IPTEK, serta mandiri dalam menjalankan kehidupan. Di bawah pimpinan Yanto asy-Syatibie, Muhammad Yunus dan Moh Dahlan, secara umum pondok pesantren yang memiliki luas 12.350 M2 ini juga memiliki kurikulum yang berbasis ideologi yaitu dengan memasukan mata pelajaran Kemuhammadiyahan dan ketarjihan sebagai mata pelajaran wajib.
Keberadaan SMP Muhammadiyah Plus Cibiuk dengan format sama seperti sekolah pada umumnya hanya berlangsung selama lima tahun, di tahun 2013 sekolah itu berganti program menjadi Boarding School dengan pertimbangan kondusivitas proses belajar mengajar. Tidak seperti sebelumnya, siswa yang terdaftar sebagai SMP Muhammadiyah Plus Cibiuk harus juga berstatus sebagai santri Pondok Pesantren al-Furqon. Jadi para murid/santri mengikuti pendidikan reguler dari pagi hingga siang di sekolah, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan agama atau pendidikan nilai-nilai khusus lainnya di malam hari. Selama 24 jam dididik berada di bawah bimbingan dan pengawasan para guru pembimbing atau pengasuh asrama.
Di lingkungan pondok ini para santri dipacu untuk menguasai ilmu umum dan agama serta teknologi secara intensif. Selama di lingkungan asrama mereka ditempa untuk menerapkan ajaran agama atau nilai-nilai khusus yang diajarkan, tak lupa mengekspresikan rasa seni dan ketrampilan hidup di hari libur. Hari-hari mereka adalah hari-hari berinteraksi dengan teman sebaya dan para guru/ustadz.
Hal demikian tidak terlepas dari berbagai inovasi-inovasi yang dilakukan oleh para pengelola. Meskipun selalu ada penolakan dalam setiap gebrakan pembaharuan, sebagai pengasuh pesantren, Yanto asy-Syatibie tetap berkomitmen menjalankan tugasnya sebagai pimpinan dan menerima segala konsekuensi. Karena selalu ada optimisme yang menggelegak dari seorang yang dicampakkan kenyataan, gebrakan selanjutnya yang dilakukan oleh Yanto asy-Syatibie adalah mendirikan SMA Muhammadiyah Plus Cibiuk pada tahun 2014. Pendirian sekolah ini sendiri sebagai jawaban atas membludaknya keinginan orang tua untuk menitipkan putra-putrinya di bawah naungan Muhammadiyah.
Format yang digunakan SMA Muhammadiyah Plus Cibiuk secara keseluruhan mirip dengan SMP Muhammadiyah Plus Cibiuk yaitu dengan sistem Boarding School. Terkait dengan perkembangan pesantren yang dilakukan oleh Yanto asy-Syatibie ini, saat ini pondok pesantren Al-Furqon telah menambah spesialisasi baru dengan menambah Tahfidzul Quran sebagai disiplin ilmu baru dalam kurikulumnya. Hafalan al-Quran telah ditetapkan menjadi salah satu program unggulan di Pondok Pesantren al-Furqon. Sehingga hafalan al-Quran ditetapkan menjadi salah satu syarat yang mesti dipenuhi untuk pengambilan ijazah/surat tanda tamat belajar mulai dari SMP sampai SMA.
Dengan menganut program Boarding School, ekstrakulikuler santripun menjadi lebih terkendali, seperti Muhadatsah (percakapan bahasa Arab), Hizabul Wathan, Tapak Suci, Marawis, Muhadharah (latihan pidato bahasa Arab dan Inggris), Olahraga (Sepakbola, Basket, Tenis Meja, Futsal, Bulu Tangkis dan lain sebagainya), Nasyid (Acapella), Paduan Suara, lingkaran diskusi interaktif antar santri dan lain sebagainya. Selain itu, kegiatan ekstrakulikuler yang diikuti oleh sekitar 250an santri ini secara tempo juga menjadi lebih tertib, ada yang berlangsung harian, mingguan, bulanan, tahunan dan insidental, semuanya berjalan dengan lancar.
Kehadiran Boarding School telah memberikan alternatif pendidikan bagi para orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya. Sebab Selama 24 jam para santri hidup dalam pemantauan dan kontrol yang total dari pengelola, guru, ustadz dan pengasuh di pondok pesantren Al-Furqon Muhammadiyah Boarding School.
Dengan adanya keleluasaan santri dalam mengekspresikan minat dan bakatnya, tidak mengherankan jika mereka menjuarai berbagai event umum dari tingkat daerah sampai nasional. Seperti juara II Pidato Bahasa Arab dan Inggris tingkat nasional dalam acara Olimpyd II yang diselenggarakan di Yogyakarta. Di event yang sama, santri pondok pesantren Al-Furqon juga berhasil menorehkan juara II dalam bidang Matematika-IPA (MIPA). Sementara dalam perlombaan membaca kitab kuning, santri Al-Furqon berhasil menyabet juara pertama tingkat Kabupaten Garut yang diseleggarakan di Universitas Garut. Selain itu, pada bulan Juni tahun 2016 Pondok Pesantren Al-Furqon berhasil menyabet Juara Umum dalam kegiatan Kejuaraan Pencat Silat Nasional yang diselenggarakan oleh Perguruan Silat Paku Bumi. Ada banyak prestasi yang sudah ditorehkan oleh santri baik dari segi akademik maupun non-akademik.
Hal demikian semakin sejalan dengan Visi pondok pesantren Al-Furqon Muhammadiyah Boarding School yang berbunyi, “menciptakan pendidikan kader yang berwatak SANG JUARA (Sanggup Jujur, Unggul, Amanah, Rajin dan Aktif)”. Sedangkan Misi Al-Furqon di antaranya: menyelenggarakan pendidikan yang berwatak IMTAQ dan IPTEK; menyelenggarakan pendidikan yang berdaya saing tinggi dan menciptakan kader Ulama yang tafaquh fiddien; menciptakan pendidikan yang berkualitas adil dan merata; menciptakan peserta didik yang visioner dalam menjawab berbagai problematika keummatan; dan membudayakan perilaku cara hidup islami dengan mengedepankan perilaku yang sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah maqbulah.