Pagi itu, mentari menyelinap lembut di antara dedaunan, menerangi halaman rumah kecil tempat Ara tinggal. Gadis berusia 16 tahun itu memulai harinya seperti biasa: menyapu halaman, membantu ibunya menyiapkan sarapan, dan bersiap-siap untuk sekolah. Namun, ada yang berbeda hari itu. Kata-kata Bu Fatimah, guru agamanya, terus terngiang di pikirannya.
“Anak-anak, shalat duha itu istimewa. Waktu yang seolah kecil dalam sehari, tapi bisa membuka pintu rezeki yang luas dan mendekatkan kita kepada Allah. Cobalah lakukan dengan ikhlas, dan lihat bagaimana hidup kalian berubah,” ucap Bu Fatimah kemarin di kelas.
Ara mengangguk mendengar penjelasan itu, tapi jauh di lubuk hatinya ia bertanya-tanya. Benarkah sesederhana itu? Akankah doa-doaku terkabul hanya dengan shalat duha?
Ara hidup dalam kesederhanaan. Ayahnya seorang Buruh tani , dan ibunya hanya seorang penjual gorengan depan rumahnya, uang yang mereka miliki tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sekolahnya. Ara sering menahan rasa malu saat teman-temannya membawa bekal yang lebih mewah atau mengenakan seragam baru, sementara seragamnya sudah lusuh.
Namun, pagi itu ia merasa ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Setelah menyelesaikan pekerjaan rumahnya, Ara mengambil wudhu, mengenakan mukena putihnya, dan membentangkan sajadah di sudut rumah yang sepi.
“Allahu Akbar,” ucapnya pelan, mengangkat tangan dengan penuh harap.
Setiap gerakan dalam shalat duha itu ia lakukan dengan hati yang tulus. Dalam sujudnya, Ara memanjatkan doa sederhana, “Ya Allah, mudahkanlah rezeki keluargaku, dan berikan aku kekuatan untuk terus belajar.”
Hari itu Ara pergi ke sekolah dengan perasaan yang lebih tenang. Ia tidak berharap langsung ada keajaiban, tapi hatinya lega telah mencoba.
Hari-hari berlalu, dan Ara mulai rutin melaksanakan shalat duha. Setiap kali ia menghamparkan sajadah di pagi hari, ada kedamaian yang menjalar di hatinya. Ia mulai melihat kehidupan dari sudut yang berbeda.
Suatu pagi, setelah selesai shalat duha, Ara melihat ibunya duduk di ruang tamu dengan wajah bahagia.
“Ara, tadi ada tetangga kita, Pak Hadi, yang datang. Dia memesan gorengan untuk acara pengajian di rumahnya minggu depan. Pesanannya banyak sekali, ini rezeki besar untuk kita!” ujar ibunya dengan senyum lebar.
Ara ikut tersenyum. Ia teringat doanya setiap pagi. Mungkin ini jawaban kecil dari Allah? pikirnya.
Bukan hanya itu. Seiring waktu, Ara mulai merasa bahwa pintu-pintu kebaikan semakin terbuka. Suatu hari, ia dipanggil oleh kepala sekolah setelah upacara.
“Ara, kami ingin memberimu beasiswa. Prestasimu luar biasa, dan kami ingin membantumu agar terus bisa belajar tanpa terkendala biaya,” kata kepala sekolah dengan penuh bangga.
Air mata Ara mengalir pelan. Ia tak bisa berkata-kata, tapi dalam hatinya ia tahu, ini adalah buah dari keyakinan dan usahanya.
Kini, Ara tidak pernah melewatkan shalat duha. Ia menyadari bahwa shalat duha bukan sekadar ibadah, melainkan momen untuk mendekatkan diri kepada Allah, menyampaikan segala harapan, dan bersyukur atas nikmat yang kecil maupun besar.
Setiap kali ia bercerita kepada teman-temannya tentang shalat duha, ia berkata, “Shalat duha bukan hanya soal meminta rezeki, tapi soal bagaimana kita menyerahkan semua urusan kepada Allah. Kalau hati kita yakin, Allah pasti memberi jalan.”
Pagi yang dulu terasa biasa kini menjadi waktu paling berharga bagi Ara. Ia menemukan kekuatan di dalamnya, sebuah cahaya yang terus menerangi langkah hidupnya.
Karena di setiap sujud duha, ada harapan yang terbungkus doa dan keyakinan yang akan menyambut rezeki dari langit.