Oleh Dasam Samsudin
Santri, Pengajar, dan Kabid IT Al-Furqon MBS Cibiuk
Menjadi seorang santri berarti harus siap bahagia dalam kondisi apapun. Banyak atau sedikit yang dipunya, luas dan sempit sebuah ruang, halus dan kasar sebuah benda, sopan atau kasar sebuah kata, didekati dan dijauhi teman, yang pertama atau terakhir, bahkan dibenci atau dicinta, seorang santri perasaan hatinya harus sama, begitupula sikap dan perbuatannya, semua mengacu pada satu untaikan kata terindah, yaitu alhamdulillah. Semuanya, alhamdulillah.
Menjadi seorang santri adalah perjuangan menuju rasa syukur atas segala sesuatu yang terjadi. Karena sejatinya seorang santri mampu melihat apa yang tidak dilihat orang secara umum, mengetahui apa yang tidak diketahui sebagian besar orang, dan merasakan apa yang tidak bisa dirasakan oleh sebagian orang. Sebab, cara berfikir seorang santri itu senantiasa terhubung ke akhirat, baginya kehidupan di dunia ini, apapun yang dilakukan harus menjadi keuntungan saat dia kembali ke kampung akhirat. Karena itu, pada rasa sakit dan berkekurangan harta, disakiti dan dijauhi, dibenci dan dicaci, santri melihatnya sebagai rahmat dan ampunan Allah, dan keduanya adalah keuntungan besar di akhirat, maka tenang jua hati santri karenanya.
“Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin, seluruh perkaranya adalah baik baginya. Dan hal itu tidaklah dimiliki kecuali oleh orang mukmin. Jika ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur, maka itu baik baginya. Dan jika ia tertimpa kesusahan, ia bersabar, maka itu baik baginya.” (HR, At-Tirmidzi)
Rangkaian penderitaan yang dirasa santri kala ia berada di medan perjuangan di sebuah pondok pesantren, tidak akan lama lagi akan terlihat dengan jelas dan nyata, bahwa semua itu begitu menggembirakan. Akan seperti itu, dia akan sangat gembira dan bangga dengan perjalanannya.
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah 94:5-6)
Membaca kalam Allah, mendengarkan sabda baginda Rasulullah, menyembah Allah, memohon pada Allah, mengingat Allah, mepelajari ilmu-ilmu Allah, bergaul dengan teman-teman yang sama-sama mencintai Allah, diasuh dan dididik oleh orang-orang yang memperjuangkan agama Allah, dan memiliki orang tua dan guru yang selalu mendo’akannya pada Allah. Semua itu adalah kenikmatan para santri. Jika ada momen-momen santri merasa sengsara, pastilah hatinya sedang melupakan Allah, yang sesungguhnya Allah mendengar dan melihatnya. Santri lupa pada Tuhannya, menderita jua hatinya.
Jika masalah adalah ketidaksesuaian antara keinginan dan kenyataan menurut para ahli-ahli dunia, maka bagi santri masalah adalah kala hati lupa pada Allah. Ketika seorang santri merasa terombang-ambing oleh cobaan dan rintangan, ia segera menyadari bahwa itu adalah tanda dirinya sedang terputus dari ingatan akan Tuhannya. Kehidupan seorang santri tidak terlepas dari ujian, tetapi ujian tersebut tidak menjadi masalah yang sebenarnya jika hatinya tetap terpaut pada Allah.
Seoang santri akan selalu melihat hikmah di balik setiap peristiwa. Dalam ketidaknyamanan dan kesulitan, ia menemukan kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Hati yang selalu mengingat Allah tidak akan merasakan beratnya beban dunia, karena setiap penderitaan dianggap sebagai cara Allah untuk membersihkan jiwa dan meningkatkan derajatnya.
Bagi seorang santri, masalah bukanlah tentang kehilangan atau kekecewaan, tetapi tentang saat-saat ketika ia melupakan kekuasaan dan kebesaran Allah yang manyayanginya. Ketika santri lupa pada Allah, ia merasa sendirian dan terbebani oleh dunia. Namun, dengan mengingat Allah, segala kesulitan menjadi ringan, dan hati pun kembali tenang.
“Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28).