Sebelumnya, silahkan baca Sejarah Ilmu Nahwu
Sumber artikel dari Majalahnabawi.com – Bila membicarakan ilmu Nahwu (sintaksis) maupun ilmu Sharaf (morfologi) dalam dunia Islam, tentunya tidak terlepas dari dua mazhab besar, yakni mazhab Bashrah dan Kufah. Persaingan antara keduanya sangatlah sengit. Sehingga pengaruhnya sangat besar dalam teori pembahasan ilmu Nahwu (sintaksis) maupun ilmu Sharaf (morfologi) yang mana hal itu masih terasa hingga saat ini.
Dikisahkan dalam kitab Mughni Al-Labib karya syekh Ibnu Hisyam al-Anshari (w.761 H), bahwasanya tepat pada hari yang telah ditentukan, gemparlah provinsi Baramikah. Toko toko, pasar pasar banyak yang tutup. Gubemur setempat menyelenggarakan perhelatan besar, mempertemukan dua kubu ulama’ yang sering berseberangan yakni kubu Kufah yang dikepalai imam Al-Kisa’i dan kubu Bashrah yang dikepalai Imam Sibaweh.
Yang di tunjuk sebagai ketua penyelenggara adalah gubernur Yahya Bin Khalid. Peristiwa bersejarah ini dicatat oleh sejarawan islam sebagai puncak kemajuan ilmu pengetahuan di bidang Nahwu dan Sharaf. Sebelumnya tidak pemah diselenggarakan dialog formal antara kedua belah kubu yang berseteru ini.
Ide penyelenggaraan debat terbuka ini di picu sebuah masalah yang di perdebatkan oleh kedua belah pihak, tentang peribahasa arab yang berbunyi :
قَدْ كُنْتُ أَظُنُّ اَنَّ الْعَقْرَبَ اَشَدُّ لِسْعَةٍ مِنَ الزَّنْبُوْرِ فَاِذَا هُوَ هِيَ / فَاِذَا هُوَ اِيَّاهَا
Artinya : “saya menyangka bahwa kalajengking itu lebih hebat sengatannya dari pada kumbang, ketika itu ternyata kumbang itu kalajengking”.
Pribahasa ini sangatlah masyhur dikalangan masyarakat Arab. Menurut Imam Sibaweh, harus dibaca rofa’ :
فَاِذَا هُوَ هِيَ
Sedangkan menurut Imam Al-Kisa’i dan kubu Kufah boleh juga dibaca nasob:
فَاِذَا هُوَ اِيَّاهَا
Ibnu Hisyam mencatat, kubu kufah yang hadir pada saat itu adalah : Al-Kisai (w. 169 H), Al-Faro’ (W. 207 H) dan Kholaf. Menurut catatan As- Suyuthi (w. 911 H), hadir juga Abu Qufsh, Abu Ziyad dan Abul-Jarroh.
Setelah beberapa saat kubu Kufah menanti kedatangan Imam Sibaweh dan rombongan, maka muncullah tokoh Bashrah ini dengan di elu-elukan penduduk Baromikah. “Eeee… temyata Imam sekalian ulama’ Bashrah ini masih sangat muda Umurnya belum genap 30 tahun.” Merekapun terheran- heran, orang semuda ini sudah terkenal “alim” guru besar di Bashrah. Semua orang tahu imam Sibaweh adalah murid kesayangan “Imam Al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi (w. 175 H)” yang kemudian melampaui kealiman gurunya. Namun tidak seorang pun menduga “Imam Sibaweh” ternyata masih muda sekali.
Yahya Bin Kholid pun tergopoh-gopoh menyambut kedatangan Imam Sibaweh, tepuk tanganpun terdengar membahana dan tak henti henti suara gemuruh “memuji-muji dan membicarakan kehebatan Imam Sibaweh, guru besar yang sangat berpengaruh itu”. Setelah dipersilahkan duduk, kemudian Yahya memberikan sambutan secukupnya.
Perdebatan itu akhimya di mulai. Dari kubu Kufah yang diberi kesempatan pertama kali adalah Imam khalaf. la mengajukan beberapa masalah pada Imam Sibaweh. Setelah berkali-kali di Jawab oleh Imam Sibaweh, kholaf selalu menyalahkannya. Berkali-kali terdengar suara kholaf:
أَخْطَأْتَ، أَخْطَأْتَ..!
“Engkau salah, Engkau salah …! “
Habis sudah kesabaran Imam Sibaweh, dengan suara parau, Imam Sibaweh berkata: “Kalau begitu caranya, ini namanya perdebatan yang tidak beraturan. Aku tidak mau berdebat dengan orang yang tidak punya sopan santun! Coba temanmu yang lain saja yang maju!”. Suasanapun menjadi sangat menegangkan.
Kemudian giliran Imam Al-Faro’ yang maju kedepan, mengajukan beberapa masalah pada Imam Sibaweh. Entah berapa puluh pertanyaan yang diajukan oleh Imam Al-Faro’ dan tak henti-hentinya dijelaskan Imam Sibaweh dengan hujjah hujjah yang semua dihafal luar kepala. Lama-kelamaan sikap Al-Faro’ sangat menjengkelkan. Betapa tidak ! setiap kali dijelaskan suatu alasan, Al-Faro’ selalu minta diulangi lagi, entah sampai berapa kali alasan alasan yang diajukan Imam Sibaweh ini diulang-ulang.
“Aku tidak mau berdebat lagi, kecuali dengan Imam kalian, aku tidak mau membuang buang waktu dengan perdebatan yang tidak pernah selesai ini !” kata Imam Sibaweh menegaskan.
Untuk yang terakhir kalinya, majulah Imam Kisa’i, Imam sekalian ulama Kufah. Dengan langkah lebar dan penuh percaya diri Al-Kisa’i mengajukan tantangan pada Imam Sibaweh: “Wahai Imam Sibaweh! Engkau yang mengajukan pertanyaan kepadaku atau aku yang pertama kali akan bertanya kepadamu” (tantang Imam Kisa’i). “Silahkan engkau saja, yang mengajukan pertanyaan kepadaku” (jawab Imam Sibaweh)
Imam Al-Kisa’i: “Baiklah kita tidak usah membuang buang waktu, langsung saja, menurutmu boleh apa tidak ?
قَدْ كُنْتُ أَظُنُّ اَنَّ الْعَقْرَبَ اَشَدُّ لِسْعَةٍ مِنَ الزَّنْبُوْرِ فَاِذَا هُوَ هِيَ
dibaca nasob:
فَاِذَا هُوَ اِيَّاهَا
Imam Sibaweh: “Menurutku tidak boleh, sebagai mana lafadz:
فَاِذَا عَبْدُ اللهِ الْقَائِمُ
Lafadz:
الْقَائِمُ
tidak boleh dibaca nasob”
Imam Al-Kisa’i: “Wahai Imam Sibaweh, apa engkau tidak mendengar. Orang arab membaca rofa’ dan juga membacanya nasob?”
Imam Sibaweh: “Tidak! sekali saja, aku belum pernah mendengar!”.
Keduanya sama-sama mengajukan hujjah yang tidak terbantahkan, perdebatan sampai memakan waktu yang panjang. Akhimya majulah Yahya Bin Kholid menenangkan para hadirin. “Sudahlah saudara saudara sekalian, nampaknya perdebatan dua Imam besar ini tak ada habis-habisnya, saya punya usul, bagaimana kalau yang memutuskan masalah ini masyarakat Arab saja! sebab yang mengucapkan:
فَاِذَا هُوَ هِيَ أو فَاِذَا هُوَ اِيَّاهَا
“itu kan orang Arab!”.
Setelah semua menyetujui usulan ketua panitia ini, maka didatangkanlah kabilah-kabilah Arab yang terkenal mahir dan maju penguasaan bahasa arabnya. Masing- masing utusan dari Kabilah Hijaz Bani Tamim, Bani Hudzail dan lain-lainnya satu persatu ditanya. Ternyata mereka menyetujui pendapat Al-Kisa’i yang memperbolehkan dua wajah bacaan:
فَاِذَا هُوَ هِيَ – فَاِذَا هُوَ اِيَّاهَا
Dengan demikian, kalahlah Imam Sibaweh dalam perdebatan di Provinsi Baromikah itu. Setelah kejadian itu, Imam Sibaweh sangat terpukul, sangat susah dan prihatin, karena menurut keyakinannya orang arab memang membaca:
فَاِذَا هُوَ هِيَ
dengan i’rob rofa’ saja.
Setelah diselidiki, ternyata kabilah-kabilah yang mendukung pendapat Al-Kisa’i itu, merasa takut menentang Al-Kisa’i dikarenakan punya kedudukan dan pengaruh yang sangat kuat dihadapan kholifah Harun Ar- Rasyid.
Pukulan bathin ini sangat menyedihkan hati Imam Sibaweh, beliau prihatin. Kenapa “kebenaran” itu kalah dengan “kekuasaan”. Dengan kebaikan Yahya Bin Kholid, Imam Sibaweh diberi bekal 10 ribu dirham. Bekal ini dipakai pergi “Sang Imam” merantau menuju Persia. Konon kabamya kejadian inilah yang menyebabkan sang Imam terus menerus sakit, pada akhimya beliau wafat dalam usia 32 tahun. Usia yang sangat muda bagi sang Imam, yang terkenal sebagai imamnya ulama lughot itu. Beliau wafat pada tahun 180 H.
Kisah ini ditulis agar kita dapat mengambil hikmah dari kisah tersebut serta bisa menjadi motivasi bagi kita selaku umat Islam agar senantiasa terus-menerus memperdalam bahasa Arab yang mana mencakup: baik itu ilmu Nahwu (sintaksis), ilmu Sharf (morfologi), ilmu balaghah (stilistika) maupun ilmu ad-dilalah (semantik). Karena betapa pentingnya bahasa Arab di dunia ini.
Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita mempelajari bahasa Arab, agar kita dapat dengan mudah memahami isi dan kandungan al-Qur’an, al-Hadis serta perkataan ulama dengan baik.